Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Unsur Kebahasaan Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Juraganbuku | Unsur Kebahasaan Novel Ronggeng Dukuh Paruk | Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sebuah karya sastra yang ditulis oleh penulis Indonesia, Ahmad Tohari, yang berasal dari Banyumas, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1982.

Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng, dan Rasus, seorang teman sejak kecil Srintil yang menjadi seorang tentara. Cerita ini berlatar di Dukuh Paruk, sebuah desa kecil yang dilanda kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan.

Waktu yang menjadi latar dalam novel ini adalah tahun 1960-an yang penuh dengan gejolak politik. Pada edisi pertama, novel ini terdiri dari tiga buku (trilogi), yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Karya ini juga telah diadaptasi ke dalam film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) serta Sang Penari (2011). Pada tahun 2014, Ronggeng Dukuh Paruk juga diterbitkan dalam bentuk audio dengan menggunakan suara Butet Kartaredjasa.

Unsur Kebahasaan Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Unsur, Kebahasaan, Novel, Ronggeng Dukuh Paruk


1. Sinopsis

Sejak Srintil, yang masih muda, diangkat menjadi ronggeng baru di Dukuh Paruk untuk menggantikan ronggeng sebelumnya yang meninggal dua belas tahun yang lalu, semangat kehidupan di Dukuh Paruk kembali hidup. Bagi pedukuhan kecil, miskin, terpencil, tetapi sederhana itu, ronggeng adalah simbol kehidupan.

Tanpa seorang ronggeng, identitas dukuh itu akan hilang. Srintil menjadi tokoh yang sangat terkenal dan diminati karena kecantikan dan daya godanya. Semua orang ingin berjoget dan tidur bersama ronggeng itu, mulai dari warga biasa hingga pejabat desa, bahkan pejabat kabupaten.

Namun, malapetaka politik pada tahun 1965 merusak Dukuh Paruk, baik secara fisik maupun mental. Karena kurang pemahaman mereka tentang politik, mereka terjerumus dalam konflik dan dianggap sebagai pengkhianat negara.

Dukuh itu dibakar, dan ronggeng beserta pemain calung ditahan oleh tentara. Meskipun begitu, karena kecantikannya, Srintil tidak mengalami perlakuan kasar dari penguasa penjara untuk tahanan politik.

Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil menyadari martabatnya sebagai manusia. Setelah dibebaskan, ia berencana untuk memperbaiki citra dirinya dengan tidak lagi melayani pria dan menjadi wanita yang mandiri.

Saat teman masa kecilnya, Rasus, muncul kembali dalam hidupnya, harapan kecil pun muncul. Namun, sayangnya, Srintil kembali mengalami kehancuran, kali ini bahkan merusak jiwanya.

2. Link Baca

https://www.goodreads.com/id/book/show/1334844

3. Profil Pengarang

Ahmad Tohari (lahir pada 13 Juni 1948) merupakan seorang sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMA Purwokerto. Karyanya yang monumental, Ronggeng Dukuh Paruk, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diangkat menjadi film layar lebar dengan judul Sang Penari.

Ahmad Tohari pernah menempuh pendidikan tinggi di beberapa jurusan, antara lain di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).

Tulisan-tulisannya yang mengandung gagasan kebudayaan telah dimuat di berbagai media massa, dan ia juga aktif sebagai pembicara dalam diskusi dan seminar kebudayaan.

4. Unsur Kebahasaan

Unsur kebahasaan dalam novel ini mengadopsi elemen kebahasaan suku Jawa. Di daerah Banyuwangi, tempat kelahiran pengarang yang terkenal dengan karyanya tentang ronggeng, sekaligus menjadi latar belakang novel ini, terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok abangan atau rakyat biasa, dan kelompok santri atau alim ulama.

Pengarang termasuk ke dalam kelompok yang kedua. Meskipun di daerah tersebut ada kelompok santri, keberadaannya tidak pernah mengganggu eksistensi para ronggeng. Kebudayaan tradisional Jawa dipenuhi oleh keyakinan yang kuat terhadap hal-hal gaib, seperti umumnya masyarakat yang masih hidup dalam alam mistis.

Hal ini tercermin melalui kejadian-kejadian alam dan kepercayaan yang secara sengaja digambarkan oleh pengarang dari awal hingga akhir cerita. Hubungan antara Srintil dan latar belakang Ronggeng Dukuh Paruk tentu sangat erat, karena perkembangan kehidupan Srintil terkait dengan konteks keseluruhan Ronggeng Dukuh Paruk.

Secara umum, pengarang memberikan gambaran mengenai waktu dan tempat dalam novel ini. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan pada tahun 1946, 1957, 1960-an, dan 1971.

Latar belakang Dukuh Paruk erat terkait dengan tradisi dan kebudayaan. Masyarakat Dukuh Paruk memiliki keyakinan kuat terhadap pengaruh dan tanda-tanda yang muncul dari alam.

Ahmad Tohari dengan tajam menonjolkan lukisan suasana atau kedaerahan yang masih dipengaruhi oleh adat Jawa. Lukisan suasana ini menggambarkan budaya Banyuwangi, terutama sebagai daerah kelahiran pengarang.

Dengan demikian, peristiwa-peristiwa dalam novel ini, yang mencakup periode 1946-1971 selama dua puluh lima tahun, hampir semuanya terkait dengan perjalanan hidup Srintil. Bisa dikatakan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah kisah hidup Srintil mulai dari usia lima bulan hingga masa dewasa dan kegilaannya.

Dalam warisan budaya Jawa, terdapat dua bentuk seni yang dikenal, yaitu seni keraton dan seni rakyat (Koentjoroningrat, 1994:212). Seni keraton diidentifikasi sebagai seni halus, sementara seni rakyat dianggap sebagai seni kasar (Geerzt, 1989:350).

Namun, tak jarang seni rakyat diadopsi oleh seniman-seniman keraton dengan mengolahnya secara halus dan artistik, sehingga seni tersebut dapat dipertunjukkan di istana raja atau keraton, seperti contohnya tayuban.

Seni keraton mencakup wayang, gamelan, lakon, joged, tembang, batik, dan lain-lain, sementara seni rakyat melibatkan ludruk, jaranan, dongeng, dan ronggeng.